Salah satu pe er kami tentang pendidikan anak-anak adalah budaya berguru. Tanpa sadar, keseringan belajar mandiri, self exploration, kayaknya bisa memicu sikap tidak teacheble.
Meskipun sarana dan prasarana belajar mandiri makin banyak sekarang ini, namun kegiatan berguru punya arti tersendiri. Kegiatan berguru menurut saya menanamkan sikap 'mau diajari', dan itu berdampak pada bertambah luasnya ilmu dan menekan sikap egosentris di mana mereka merasa hebat sendiri. Hal itu tentunya berseberangan dengan ideal akhlak seorang muslim.
Jadi, dalam tahap-tahap kecil, kami mulai membawa anak-anak pada guru lain selain kami, orang tuanya. Berharap dengan cara itu, mereka menyadari pentingnya sosok guru di samping kemauan untuk belajar sendiri. Azkia sudah hampir 6 bulan ikut les bahasa Inggris dengan 12 murid dalam satu kelas dan guru berumur 27-an tahun. Mulai ikut les piano dengan guru berumur 70-an tahun; ikut les robotika dengan guru berusia sama dengan guru les Inggrisnya; belajar craft bersama Nenek, dan lain sebagainya.
Di luar fakta bahwa banyak guru formal juga belum tentu kompeten dalam mengajar, namun budaya berguru tidak akan bisa dilepaskan dari budaya belajar jika ingin anak-anak menjadi seorang pembelajar sejati.
Pembelajar mandiri bukan hanya sekadar tentang bisa belajar sendiri (tanpa sosok guru), namun juga selalu siap menyerap ilmu dari orang lain dan berguru padanya.Saya semakin menikmati proses perenungan ini. Pendidikan informal mewadahi pendalaman hakikat banyak hal, terutama soal belajar. Karena pada dasarnya bukan hanya anak-anak yang belajar, melainkan juga kami sebagai orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar