Suatu hari, menjelang sore saya masih membereskan benda-benda yang berserakan di halaman. Sepintas, sudut mata saya menangkap sebuah gerakan kecil di atas paving block, tapi setelah dilihat hanya ada sebutir batu putih lonjong di sana. Setelah terdiam sebentar, ternyata gerakan itu muncul lagi. Rupanya, benda berbentuk batu lonjong itu-lah yang bergerak.
Saya pun panggil anak-anak. Seperti biasa, ini sering saya lakukan saat menemukan hal-hal baru yang menarik. Tentunya supaya mereka juga tak melewatkan keajaiban-keajaiban yang ada di sekitarnya.
"Tapi betul, Mah. Itu memang kelomang," kata Azkia lagi.
"Ya sudah, coba cari di internet, apa ini memang benar kelomang." Anak-anak pun mengganggu papanya untuk dicarikan info tentang kelomang. Setelah searching, ternyata benar, hewan itu memang kelomang.
Sayangnya, kami tidak terlalu membaca dengan detail tentang hewan ini lebih jauh. Karena pengetahuan awal kami, kelomang itu berasal dari laut dan pastinya suka hidup di air, kami pun memasukkannya ke dalam stoples dan diberi bebatuan kecil. Kami beri pisang sebagai makanannya, karena katanya kelomang suka makan tumbuhan.
Setelah semalaman kelomang menginap di stoples, di dapur kami, penasaran saya cari lagi info tentang kelomang di internet. Terkejut juga. Ternyata, kelomang tak hanya hidup di laut. Ada juga jenis kelomang yang hidup di darat dan tidak terlalu menyukai air, sehingga tak boleh direndam terlalu lama di air supaya tetap hidup.
Hampir meloncat, saya periksa stoples kelomang. Ups! Ternyata kelomang kecil itu memang sudah tiada. Sayang sekali! Sejak saat itu-lah saya mulai mengerti apa gunanya mengetahui kehidupan hewan secara spesifik. Salah satunya adalah untuk menjaga kelestarian mereka. Keberuntungan kami menemukan kelomang memang tinggal kenangan, tapi hikmahnya, saya tak lagi meremehkan gunanya ilmu pengetahuan. Ilmu (apapun itu), pasti berguna, meski kita tidak tahu kapan itu akan digunakan.
Salam pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar