Selasa, 13 September 2011

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA LEWAT ADMINISTRASI NEGARA

oleh ELEMARIO


Pendahuluan

Munculnya berbagai tindakan kerusuhan, penjarahan, pembunuhan, perkosaan, dan bahkan perkosaan massal, yang marak terjadi pada waktu bergulirnya gelombang reformasi dan sesekali terjadi sekarang ini, pada hakekatnya merupakan peristiwa penelanjangan diri bangsa kita kepada dunia internasional bahwa karakter bangsa kita memang bobrok. Melalui kejadian-kejadian tersebut, secara kita telah menyampaikan suatu pengumuman kepada dunia internasional bahwa pembangunan yang kita galakkan semenjak kita memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, gagal membentuk suatu karakter bangsa yang beradab (civilized sosiaty). Tidak mengherankan kalau kejadian ini menyentak berbagai komponen bangsa untuk melakukan refleksi dan introspoksi.

Hasilnya, alternatif-alternatif pemecahan masalah bermunculan, antara lain: supremasi hukum, tata ulang sistem dan model pendidikan nasional, tindakan tegas aparat keamanan, dan sebagainya. Tulisan ini mencoba menegaskan perlunya mendekati masalah pembentukan karakter bangsa (character building) secara sistemik atau menyeluruh, dan bukannya secara parsial atau sebagian.


Melihat Pembentukan Karakter Bangsa Secara Parsial

Mungkin yang menarik untuk kita cermati adalah refleksi dan instrospeksi yang dilakukan oleh kalangan yang berkecimpung di bidang pendidikan. Terdapat semacam kesepahaman dikalangan mereka bahwa sistem pendidikan kita gagal membangunan suatu karakter bangsa yang beradab. Kurikulum dan metode pengajaran harus diformulasi ulang untuk menciptakan putra-putra bangsa yang tidak suka kerusuhan, penjarahan, pembunuhan dan perkosaan, serta tentu saja KKN. Ada yang menindaklanjuti masalah ini dengan strategi membentuk manujsia baru melalui pendidikan, yakni manusia yang tidak hanya memiliki intelektual yang tinggi tetapi juga moralitas yang handal. Kemudian, ada yang menyarankan agar pendidikan hendaknya dijadikan persemaian nilai-nilai kejujuran. Akibatnya, muncul gagasan untuk meninjau ulang kurikulum pendidikan formal dalam kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa. Terakhir, bermunculan program-program pelatihan yang tujuan membentuk karakter bangsa seperti Mindsetting, ESQ Training, dan semacamanya siap diterapkan.


Usaha yang dilakukan oleh kalangan pendidikan tersebut di atas, patut kita dukung, tetapi harus dengan ekstra hati-hati. Memang pendidikan memiliki peranan dalam pembentukan karakter bangsa. Melalui kegiatan-kegiatan pengajaran di dalam kelas, nilai-nilai moralitas dapat ditanamkan pada anak didik, nilai-nilai karakter bangsa yang dikehendaki dapat disemaikan. Namun, dengan hanya mengandalkan pendidikan semata, upaya untuk membentuk bangsa yang beradab, tidak bisa optimal. Pasalnya, pembangunan karakter suatu bangsa (character building) perlu dipahami sebagai suatu usaha yang sangat kompleks, dan suatu sasaran yang tidak dapat dicapai dengan hanya mengandalkan satu alat saja, dengan pendidikan misalnya. Karakter bangsa yang kita miliki sekarang ini, betapapun bobroknya, adalah buah dari seluruh sistem kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Peranan pendidikan hanya sepersekian persen saja dalam membentuk karakter bangsa itu, karena masyarakat kita tidak hanya belajar berkarakter di dalam kelas. Bahkan karakter mereka lebih banyak dibentuk oleh proses belajar diluar kelas seperti di jalanan, di kantor-kantor pemerintah, kantor-kantor pelayanan umum, di rumah-rumah sakit, di lapangan sepak bola, di rumah ketika nonton acara televisi, dan seterusnya. Tidak ada yang bisa menjamin, apalagi membuktikan, bahwa kebobrokan karakter bangsa kita disebabkan oleh model dan sistem pendidikan kita. Ada kemungkinan bahwa kebobrokan itu disebabkan oleh aspek-aspek lain dari kehidupan kita berbangsa dan bernegara.


Mendekati Permasalahan Karakter Bangsa Secara Sistemik

Kalau kita sepakati bahwa masyarakat kita belajar berkarakter bukan hanya di dalam kelas, tetapi bahkan lebih banyak belajar di luar kelas, maka administrasi negara memiliki andil yang sangat dominan dalam membentuk masyarakat yang memiliki karakter beradab. Sebagai suatu kegiatan dengan Presiden selaku pimpinannya, administrasi negara bukan hanya mampu menjangkau dunia pendidikan tetapi mampu menjangkau semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Administrasi negara memiliki akses ke segala tempat seperti pasar-pasar tradisional, jalan raya, pasar swalayan, alat transportasi, kantor-kantor pemerintah, kantor swasta dan seterusnya, dan akses kepada semua kegiatan kegiatan-kegiatan pemerintah seperti rekrut pegawai, tender proyek, pelaksanaan proyek dan seterusnya, untuk mengajar masyarakat bagaimana berkarakter yang beradab. Administrasi negara mampu menyediakan kondisi dan situasi pada tempat dan kegiatan tersebut, kepada masyarakat yang dapat dipergunakannya untuk belajar berkarakter yang baik.

Jika kita cermati situasi yang berkembang, sebenarnya administrasi negara sudah memperlihatkan peranannya dalam membentuk karakter bangsa melalui penyediaan situasi dan kondisi bagi masyarakat untuk belajar berkarakter. Pada era reformasi di bawah pimpinan Habibie, tercatat sejumlah kebijakan yang dapat memfasilitasi masyarakat untuk belajar berkarakter. Yang signifikan untuk dicatat adalah ketika Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No 26/98 pada tanggal 16 September 1998. Melalui Inpres, negara tidak membenarkan adanya istilah pribumi dan non-pribumi. Dengan ketentuan ini, masyarakat kita dapat belajar bahwa semua warga negara sama kedudukannya dalam pemerintahan. Tidak Cina, tidak melayu, tidak Bugis, Tidak Makassar; Tidak Islam, Tidak Kristen, Tidak Hindu, semua sama. Tidak ada diskriminasi. Dan yang lebih penting, Inpres itu mengajar masyarakat bahwa tidak boleh ada komponen bangsa (khususnya pribumi) yang menganggap dirinya lebih berhak, lebih baik, dari pada komponen bangsa lainnya (non-pribumi). Dalam Inpres itu, salah satu unsur pendidikan yakni ‘learn to live together’ (belajar hidup berdampingan) yang disarankan oleh Unesco, dapat terakomodasi dengan baik.

Pada era pemerintahan Gus Dur, terlihat bahwa peranan administrasi negara dalam membentuk karakter bangsa semakin bergairah. Dengan kewenangannya untuk mencipta hukum melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Menteri dan seterusnya, dan bahkan untuk mencabut hukum yang pernah diciptanya, fungsi administrasi negara semakin memperlihatkan arahnya dalam pembentukan karakter bangsa yang civilized. Ketika Pemerintahan Gus Dur mengeluarkan Keppres 6/2000 dan mencabut Inpress 14/67, maka orang Cina pun boleh merayakan Imlek Capgome secara terbuka. Banyak pelajaran moral yang tersedia bagi masyarakat dengan lahirnya keppres 6/2000 tersebut. Dengan perayaan Imlek yang terbuka itu, maka warga keturunan Cina tidak ada alasan lagi untuk tampil eksklusif atau tertutup, sehingga proses asimilasi dan saling pengertian antar budaya dengan sendirinya terdorong. Begitupula, masyarakat luas bisa belajar bahwa orang Cina pun ternyata dermawan, memiliki kepekaan sosial yang diwarisi dari leluhurnya melalui budaya ampauw, yang dibagikan-bagikan kepada fakir miskin di sekitarnya. Jelas, proses belajar seperti ini tidak bisa didapatkan di dalam kelas, melalui perubahan kurikulum dan metodologi pengajaran.

Mungkin yang paling signifikan untuk dicatat di era Pemerintahan Gus Dur, dalam kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa, adalah dicabutnya Keppress 29/88 tentang Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan Keppres 16/90 tentang Penelitian Khusus (Litsus). Pencabutan dua kepp+res ini dengan sendirinya menyediakan banyak pelajaran berbangsa dan bernegara bagi masyarakat. Dengan tidak adanya litsus, masyarakat bukan hanya bisa belajar tetapi bahkan mengalami sendiri, bahwa negara menaruh kepercayaan yang tinggi kepada masyarakat untuk berkarakter dan berbuat baik, sehingga tidak perlu dicurigai (baca: dilitsus) oleh negara. Dengan pencabutan kepress tersebut, negara sudah memulai memperlakukan masyarakatnya secara sama, tidak ada komponen bangsa lain yang lebih superior dari komponen lainnya. Pencabutan keppress ini dapat dijadikan sebagai momentum bagi pemerintah untuk melihat kembali peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan semenjak orde baru, orde reformasi hingga sekarang. Apakah peraturan-peraturan itu menyedikan situasi dan kondisi kepada masyarakat untuk belajar membangun karakter mereka? Apakah ada-ada peraturan-peraturan yang malah mendidik masyarakat untuk tidak berkarakter? Kemedian di Era Pemerintahan Megawati, upaya ke arah kesederajatan semakin kuat, misalnya dengan diundangkan Pilpres langsung. Dan terakhir pemerintahan sekarang ini semakin mendorong upaya kesederajatan itu, melalui Pilkada langsung, misalnya.

Apa yang dicontohkan di atas hanya memperlihatkan bahwa betapa efektif peranan administrasi negara dalam membangun karakter bangsa, kalau fungsi ini mau diarahkan ke sana. Dengan kewenangan untuk mencipta hukum saja, administrasi negara sudah mampu masuk ke semua tempat dan kegiatan, lalu menyediakan situasi dan kondisi pada masyarakat untuk belajar berkarakter. Ini belum menyentuh kewenangan administrasi negara yang lain, seperti memberikan beban (pajak), memberikan keuntungan, memberikan dispensasi, memberikan izin, memberikan lisensi, memberikan konsensi, memberikan pembinaan masyarakat, kepolisian, memberikan peradilan atau penyelesaian persengketaan, mendorong proses supremasi hukum, dan seterusnya.



Penutup

Kalau kita sepakati bahwa pembentukan karakter bangsa harus dilihat secara sistemik dalam menanganinya, maka administrasi negara memiliki andil yang besar untuk memecahkan masalah kebobrokan karakter bangsa kita. Oleh karena itu, dalam memfungsikan kewenangan-kewenangan administrasi negara hendaknya tetap memperhatikan pembentukan karakter bangsa (character building). Kalau ini dilakukan, maka barangkali lembaga pendidikan tidak perlu menjejali kurikulum mereka dengan materi yang dimaksudkan untuk membentuk karakter bangsa, tidak perlu menyetir metodologi pengajaran ke arah pembentukan karakter bangsa. Biarkanlah lembaga pendidikan berkonsentrasi untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, dan hanya proporsional menangani aspek moralitas masyarakat, agar lembaga pendidikan itu dapat menghasilkan profesional dan spesialis yang handal yang sangat kita perlukan dalam mensejajarkan bangsa kita dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Dan biarkanlah aspek moralitas masyarakat ditangani secara sungguh oleh administrasi negara dengan presiden sebagai pimpinannya. Kalau dunia pendidikan berusaha sendiri menangani pembentukan karakter bangsa melalui perubahan kurikulum, jelas akan menimbulkan cost atau pengorbanan pada aspek lain yakni pembentukan pengetahuan dan keterampilan. Jangan sampai kita berupaya menutup suatu lubang dan tanpa sengaja kita telah membuka sebuah lubang baru!

Sabtu, 10 September 2011

Belajar di Kampus IAIN Raden Intan



TEMAN-TEMAN sudah pernah dengar IAIN Raden Intan kan? Siapa yang sudah pernah ke sana? Kampusnya luas sekali, lo. Kami M. Sauqi Al Ghifarie, Nur Tasya Febriyanti, Tarisa Ulviana, dan Destiyani (SDN 2 Talang, Bandar Lampung) berkunjung ke IAIN, Kamis (8-8). Kami bertanya banyak hal kepada Rektor IAIN Raden Intan Lampung Mohammad Mukri. Mulai dari sejarah berdirinya IAIN, sampai dengan tugas-tugasnya sebagai rektor. Teman-teman ingin tahu lebih banyak tentang IAIN kan? Baca hasil wawancara kami ini sampai selesai, ya.

Pak, IAIN itu apa kepanjangannya apa?

Ya, IAIN itu kepanjangannya Institut Agama Islam Negeri.


Kenapa IAIN ini dinamakan IAIN Raden Intan?

Karena para pendiri IAIN ini ingin mengabadikan tokoh yang punya jasa besar terhadap Provinsi Lampung, makanya diberi nama Raden Intan. Karena Raden Intan adalah pahlawan Lampung yang juga pahlawan nasional. Nama Raden Intan diabadikan menjadi nama perguruan tinggi ini.


Sejak kapan IAIN didirikan, Pak?

Sejak 27 Oktober 1964. Jadi IAIN ini sudah berdiri sejak 47 tahun lalu.

Kenapa IAIN didirikan di Lampung?
IAIN ini kan institut agama Islam, jadi ilmu pengetahuan dan disiplin-disiplin ilmunya berkaitan dengan agama Islam. Nah, kenapa IAIN didirikan di Lampung? Lampung ini mayoritas masyarakatnya muslim, IAIN ini didirikan untuk menampung putra-putri orang Islam untuk kuliah di perguruan tinggi negeri. IAIN ini tidak hanya di Lampung lo, hampir di seluruh provinsi di Indonesia ada IAIN, termasuk di Papua sana. Ke depan, Bapak juga ingin IAIN ini menjadi pusat kajian Islam. Jadi, membahas semua persoalan, baik di bidang politik, ekonomi, pedagangan, pendidikan, dan lain sebagainya dari sudut pandang Islam.

Mahasiswanya berasal dari mana saja, Pak?


Dari seluruh pelosok Lampung. Dari setiap kabupaten/kota di Lampung ini ada yang mejadi mahasiswa di IAIN. Mahasiswanya ada juga yang dari Bengkulu, Sumatera Selatan, Banten, Jawa, Ternate, Singapura, dan Thailand. Jadi yang kuliah di sini tidak hanya dari dalam negeri, juga ada yang dari luar negeri. Yang pasti sekarang dari Thailand dan Malaysia.


Wah, IAIN hebat juga ya, Pak. Bahkan mahasiswanya ada yang dari Malaysia dan Thailand. Kalau jumlah mahasiswa keseluruhan berapa, Pak?

Sekitar 8.000 orang. Di sini ada program sarjana (S-1) dan ada juga program master (S-2). Insya Allah mulai 2012 mulai membuka program S-3 atau program doktor.


Fakultasnya apa saja?

Ada empat fakultas, yaitu Tarbiyah, Syariah, Dakwan, dan Ushuluddin.

Pak, saya bercita-cita ingin menjadi gubernur. Kalau ingin menjadi gubernur itu, bisa kuliah di sini enggak, Pak?
Oh boleh sekali, siapa namanya? Sauqi ya. Sauqi, nanti saya kasih beasiswa untuk kuliah di sini. Di sini banyak mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Kementerian Agama Islam. Ada sekitar 800 mahasiswa. Juga ada beasiswa dari Bank Indonesia, beasiswa Supersemar, Gudang Garam, dan dalam waktu dekat ini juga ada bebasiswa dari Bank Syariah Mandiri. Selain itu, di IAIN ini juga ada program bidik misi. Program bidik misi itu adalah program beasiswa yang dibiayai mulai dari masuk sampai selesai kuliah. Tahun pertama kemarin ada 60 mahasiswa yang mendapatkan beasiswa bidik misi ini, tahun kedua ini juga ada 60 mahasiswa. Beberapa mahasiswa yang mendapat beasiswa kita tempatkan di rumah susun mahasiswa (rusunawa) yang terdapat di dalam lingkungan kampus. Termasuk 17 mahasiswa asal Malaysia dan Thailand yang kuliah di IAIN, mereka tinggal di rusunawa. Ada sekitar 200 mahasiswa yang tinggal di rusunawa. Dialognya setiap hari menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Jadi, kalau adik-adik mau belajar bahasa Arab, main aja ke rusunawa IAIN, hehehe.

Nah, kalau saya cita-citanya ingin menjadi dokter, Pak. Saya bisa kuliah di sini enggak, Pak?

Kalau dokter di sini belum ada fakultasnya. Insya Allah nanti IAIN akan berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), seperti UIN Jakarta. Kalau sudah menjadi UIN, kita baru bisa punya Fakultas Kedokteran. Siapa namanya? Tarisa, ya? Insya Allah nanti saat Tarisa lulus SMA, sudah ada Fakultas Kedokteran di IAIN ini.

Oh iya, Pak, mahasiswa IAIN masih melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) enggak?

Masih ada. IAIN masih ada KKN. Kemarin 810 mahasiswa kita melaksanakan KKN di Way Kanan. Untuk tahun ini KKN-nya mengambil KKN tematik. Jadi mahasiswa IAIN itu datang ke Way Kanan dan tinggal di sana sekitar 45 hari. Kegiatannya mengajarkan masyarakat di sana, baik anak-anak maupun orang dewasa tentang baca tulis Alquran. Kami ingin memberantas buta huruf aksara Alquran di daerah itu. Dalam mengajarkan baca tulis Alquran ini, mahasiswa IAIN menggunakan metode tartil, sangat cepat. Orang dewasa yang tidak bisa baca tulis Alquran, dalam 20 hari bisa membaca Alquran. Alhamdulillah, anak-anak yang awalnya tidak bisa baca tulis Alquran, dalam waktu satu bulan bisa baca tulis Alquran.

Kenapa sih Pak mahasiswa harus melaksanakan KKN?

Sebab, selama di kampus mahasiswa belajar tentang teori-teori. Nah, sebelum mereka selesai kuliah dan kembali ke masyarakat, mereka praktek dulu di masyarakat. Makanya namanya kuliah kerja nyara. Bukan teori lagi, tapi bagaimana mereka mempraktekkan ilmu-ilmu yang selama ini mereka dapatkan di bangku kuliah. Mulai dari ceramah, kepemimpinan, memberi pidato, mengaji, dan mendorong masyarakat untuk membangun. Sebab itulah, KKN sangat diperlukan di perguruan tinggi.

Bapak, sekarang kami ingin tahu nih, Pak, apa saja tugas-tugas Bapak sebagai rektor IAIN?

Banyak sekali, hahaha. Mulai dari perencanaan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan di kampus ini, seperti penerimaan mahasiswa, penerimaan pegawai, gaji pegawai. Lalu, bagaimana kampus ini selalu asri, nyaman, sehingga dosen dan mahasiswanya betah belajar di kampus ini. Bapak masuk mulai pukul 07.30, sampai sore di kampus ini, mengurusi kampus ini agar maju, maju, dan maju.


Ada suka dukanya enggak Pak menjadi rektor?

Tentu saja ada. Suka dukanya banyaklah. Sederhananya begini, kalau ada 10 orang yang masuk ke ruang rektor, dipastikan kesepuluhnya itu membawa masalah, mulai dari masalah dosen, mahasiswa, macam-macamlah masalahnya. Senangnya kalau ada mahssiswa berprestasi dan menjadi orang baik. Bapak juga senang kalau program-program di kampus ini berhasil semua.



Apa pesan-pesan Bapak untuk pelajar Lampung?

Saya pesan kepada kalian, karena sekarang ini eranya sudah maju, tidak ada pilihan selain harus belajar, belajar, dan belajar. Baca, baca, dan baca. Tentu juga harus taat kepada orang tua. Beribadah kepada Allah. Jadi, taat kepada Allah dan kedua orang tua.

Terima kasih ya, Pak. Nasihat Bapak akan kami laksanakan. Semoga hasil wawancara ini bermanfaat ya, Pak.

Iya, sama-sama, bapak juga sangat senang diwawancarai kalian. (M-1)




Mahasiswa Malaysia dan Thailand Belajar di IAIN


KAMI tidak hanya mewawancarai Rektor IAIN Raden Intan Lampung Mohammad Mukri, tetapi kami juga menggali pengalaman kakak-kakak mahasiswa asal Malaysia dan Thailand. Ketika kami mewawancarai Pak Mukri, dia memberitahu bahwa di IAIN ini ada 17 mahasiswa yang berasal dari Malaysia dan Thailand. Wah, kami surprise juga teman-teman. Ternyata, ada orang luar negeri yang tertarik belajar di kampus ini. Berarti, IAIN Raden Intan ini sudah menjadi salah satu perguruan tinggi pilihan. Tidak hanya diminati oleh orang-orang dalam negeri, tetapi juga orang-orang di luar negeri, contohnya kakak-kakak dari Malaysia dan Thailand ini.

Tentunya teman-teman penasaran kan mendengar pengalaman kami mewawancarai mahasiswa asal Malaysia dan Thailand ini. Kamis siang (8-8), kami menemui mereka di rumah susun mahasiswa, yaitu Kakak Muhammad Asrul, Siti Rahayu, Azizah (Malaysia) dan Rusmina (Thailand).

Awalnya kami grogi mau bertanya apa sama mereka. Soalnya kami enggak bisa bahasanya Upin dan Ipin alias bahasa Malaysia. Hihihi, mau nanya apa, ya? “Hayo, mau tanya apa, Adik-adik,” kata Kak Asrul. Hmmm, kok tidak seperti bahasanya Upin dan Ipin itu ya. Walaupun ada sedikit logat Melayu, tapi Kak Asrul sudah sangat pintar berbahasa Indonesia. “Kak Asrul sudah berapa lama belajar di sini,” tanya kami. “Ini sudah masuk semester ketiga kakak di sini. Makanya ini bahasa Indonesia Kak Asrul sudah sangat fasih (mahir, red),” kata Kak Asrul. Oh, pantas aja tidak mirip bahasanya Upin dan Ipin lagi, hihihi.

Bersama mahasiswa dari Canada.



Menurut Kak Asrul, dia bersama Kak Siti Rahayu, Aziza, Rusmina dan 13 mahasiswa lainnya berasal dari perguruan tinggi yang sama di Kelantan, Malaysia. Tapi, di sana mereka hanya sampai lulusan D-3. “Rektor di perguruan tinggi di Kelantan bekerja sama dengan IAIN Raden Intan ini. Kami ditawarkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan sarjana (S-1) di sini. Saya langsung mengajukan syarat-syarat yang diminta, dan Alhamdulillah saya diterima,” kata Kak Asrul. Wah, kak Asrul pasti orangnya pintar, karena untuk mendapatkan beasiswa dari Kementerian Agama Indonesia harus mahasiswa yang pintar dan cerdas. Menurut Kak Asrul, selama di Lampung, dia sudah pernah kerja lapangan di Radio Republik Indonesia (RRI) wilayah Lampung. Sedangkan Kak Siti Rahayu, Aziza, dan Rusmina sudah melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di Way Kanan.

Sekarang kami bertanya kepada Kak Azizah nih. “Betah enggak sih Kak tinggal di Indonesia,” tanya kami. “Oh betah sekali,” kata Kak Azizah. Menurut Kak Azizah, mahasiswa di IAIN sangat ramah. Sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam berteman. Selain itu, makanan pokok Indonesia dengan makanan pokok Malaysia tidak terlalu berbeda, yaitu nasi, lauk, dan sayuran. Di waktu-waktu luang, mereka memanfaatkan waktu jalan-jalan ke toko buku, mal, dan pasar-pasar di Tanjungkarang. Iya dong, Kak. Jalan-jalan keliling Lampung. Banyak tempat wisata dan lokasi-lokasi yang asyik lo di Lampung ini. Nanti, kalau Kakak sudah pulang ke Malaysia, kan bisa cerita ke teman-teman dan orang tua tentang keindahan Lampung.

Oh iya, kemarin kan kita baru saja merayakan Idulfitri. Bagaimana ya dengan kakak-kakak ini, mereka pulang kampung ke Malaysia enggak, ya? Menurut Kak Siti Rahayu, karena jarak Lampung dengan Malaysia cukup jauh, mereka terpaksa Lebaran di Lampung. “Ya, dananya cukup besar untuk balik ke Malaysia, jadi Lebaran di sini saja,” kata Kak Siti dan Kak Asrul. Tuh teman-teman, kakak-kakak ini patut kita acungi jempol. Mereka benar-benar berniat belajar dan menyelesaikan kuliah di sini. Jadi, harus kuat berpisah jauh dari orang tua, dan rela merayakan Idulfitri di negeri kita. Semoga sukses ya Kak! Amin. (M-1)

Sumber : Lampost Minggu 11 September 2011

Kreativitas Guru Jadi Masalah

Pendidikan : Lampost 10 September 2011


BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penguatan pendidikan sains murni di sekolah belum berjalan optimal. Lemahnya kreativitas guru menjadi kendala utama peningkatan mutu pembelajaran di kelas.

Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila) Bujang Rahman, dalam percakapannya dengan Lampung Post, Jumat (9-9), di gedung Dekanat FKIP, bertalian dengan pentingnya penguatan pendidikan sains murni di sekolah.

"Jika dilihat dari standar kompetensinya, guru sains kita sudah bisa dikatakan cukup baik kualitasnya. Namun, pemenuhan kompetensi saja tidak cukup agar mutu pembelajaran di kelas menjadi lebih berkualitas," kata Bujang.

Ia menjelaskan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia saat ini masih berkutat pada minimnya dana sehingga berdampak pada lemahnya dukungan sarana prasarana pendidikan, termasuk sarana penunjang di bidang pendidikan sains.

"Kekurangan kita dalam pengembangan sains dari negara-negara maju memang masih berkutat pada kelengkapan sarana prasarana laboratorium sekolah yang memang masih minim. Namun, kekurangan ini dapat diatasi jika para guru sains bertindak kreatif," kata dia.

Ia berargumentasi peningkatan mutu pembelajaran siswa di bidang sains tidak sepenuhnya ditunjang oleh sarana laburatorium yang mahal. Jika kreatif, teknologi sederhana tepat guna juga dapat diandalkan untuk membantu pembelajaran siswa.

"Contoh, beberapa waktu lalu kami melakukan kuliah kerja nyata di sekolah. Untuk memperagakan teknologi kapal selam, misalnya, cukup dilakukan dengan menggunakan alat peraga botol bekas dan gabus. Murah tetapi cukup membantu siswa, dan siswa menjadi lebih tertarik," kata Bujang.

Bujang menuturkan tanpa didukung kreativitas guru, maka minimnya sarana akan terus menjadi kendala dan pembelajaran sains di kelas menjadi minim inovasi-inovasi baru. Akibatnya, pembelajaran sains di sekolah menjadi monoton dan membosankan.

Untuk itu, menurut Bujang, pembinaan khusus guru guru sains oleh pemerintah mutlak diperlukan, terutama untuk menumbuhkan daya kreativitas guru dalam mengajar di kelas. Di sisi lain, perguruan tinggi yang menjadi pusat pengembangan sains perlu memberi dukungan pendidikan sains di level sekolah.

"Pembangunan sains murni di level perguruan tinggi tidak akan cukup jika tidak dibarengi penguatan sains di level bawah. Perguruan tinggi dapat memberikan support berupa pembobotan guru sains di sekolah hingga melakukan sharing tentang sarana prasarana laboratorium untuk kebutuhan sekolah," kata dia. (MG1/S-1)

Mengutamakan Pendidikan Karakter

Oleh Zainul Mun'im
Staf Peneliti Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Melihat compang-campingnya kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini membuat kita semua mempertanyakan apa yang salah dengan negara ini. Korupsi, kriminalitas, dan masalah-masalah yang lain selalu mewarnai televisi kita. Mulai kejahatan kelas tinggi yang dilakukan para elite politik negara ini hingga kejahatan kelas teri yang lakukan oleh rakyat biasa. Ada apa dengan bangsa ini? Bila kita tarik garis lurus, dapat diambil kesimpulan bahwa semua hal yang terjadi saat ini akibat kegagalan kita dalam dunia pendidikan karakter.

Hal ini semakin didukung dengan penerapan sistem pendidikan yang menjadikan nilai sebagai standardisasi keberhasilan siswa dalam sekolah, yang pada akhirnya membuat siswa merasa ketakutan sehingga memakai segala cara untuk mencapai standar nilai tersebut, tidak lagi berlandaskan asas sportivitas dan kejujuran. Asal nilainya tinggi, walaupun beperilaku tidak benar dan sopan, bisa dipastikan akan berhasil dalam pendidikannya, begitu juga sebaliknya. Upaya semacam ini merupakan salah satu alasan mengapa kebanyakan peserta didik walaupun berprestasi baik, tetapi tidak berperilaku baik seperti yang diharapkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Bila kita melihat Undang-Undang Bab II Pasal 3 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mana pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Berangkat dari undang-undang ini, dapat kita temukan bahwa garis besar dari tujuan pendidikan nasional adalah selain mencerdaskan peserta, juga terciptanya karakter peserta yang beriman, mandiri, dan berahklak mulia. Bila demikian, dengan melihat potret-potret dunia pendidikan saat ini, bisa dikatakan sistem pendidikan nasional sudah gagal memenuhi tujuan undang-undang di atas.

Hal ini terlihat dari data mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia, data tersebut sebagai berikut: (1) Tingkat kecerdasan 79%, (2) Kemandirian 13% (3) Usaha 67% (4) Percaya diri 11% (5) Kepekaan 19%, dan (6) Kepemimpinan 4%. Berdasar data ini, memang seakan sistem pendidikan nasional berhasil dengan prosentase 79% tingkat kecerdasan, akan tetapi hal itu tidak diikuti dengan tingginya persentase karakter jiwa perserta didik, seperti kepekaan, percaya diri, bahkan kepemimpinan.

Terlepas dari semua faktor yang ada, sebesar apa pun dampaknya, kurangnya pendidikan karakter telah membuat peserta didik dan sekaligus bangsa seakan kehilangan martabatnya. Memang dari satu sisi pendidikan nasional berhasil mencerdaskan anak bangsa, akan tetapi hal itu tidak cukup, mengingat keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dari kecerdasannya, tetapi juga sikap dan karakternya.

Sikap dan karakter merupakan suatu yang tidak kalah penting dari kecerdasan bagi anak-anak, bahkan sebagian orang menganggapnya lebih penting. Buktinya terdapat sebagian orang yang gagal ketika di sekolah, akan tetapi di masa tuanya mereka begitu berhasil disebabkan pendidikan karakter yang dialaminya. Sebut saja Albert Einstein, siapa yang menyangka kalau penemu teori “relativitas” ini dikeluarkan dari sekolah semasa kecilnya, tetapi saat sekarang, siapa yang tidak mengakui keberhasilannya dan masuk dalam daftar orang berpengaruh di dunia.

Di sinilah pentingnya mengutamankan pendidikan karakter, keberhasilan seseorang bahkan suatu bangsa bukan hanya dengan dibekali kecerdasan yang mempuni, akan tetapi juga pembentukan karakter yang berjiwa mandiri, penuh tanggung jawab, dan berahklak mulia seperti yang tercantum dalam undang-undang.

Membangun karakter yang mandiri dan bijaksana harus melibatkan kerja sama dan dukungan dari semua kompenan bangsa, dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki peran besar untuk menjadi motor penggerak dengan menyosialisasikan pendidikan karakter tersebut, dibarengi dengan segenap upaya sekolah dan kampus agar memasukkan nilai-nilai moral dalam setiap mata pelajarannya. Tidak cukup dengan itu, kita membutuhkan cara yang tepat untuk mendidik para anak bangsa.

Cara itu dapat melalui dua kategori. Pertama, secara formal, yaitu dengan memasukkan bahan pelajaran yang dapat menunjang karakter anak, seperti mata pelajaran budi pekerti atau akhlak sebagai pedoman bagi peserta didik. Dan secara tegas memberi punishment kepada siswa yang terbukti melanggar dan penghargaan bagi yang berprestasi. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan, maka tidak akan efektif bila hanya menjalankan salah satunya. Dengan catatan punishment tersebut adalah punishment yang tidak memberi dampak psikologis bagi siswa, seperti dengan menggunakan kekerasan yang keterlaluan.

Kedua, secara informal, yaitu pendidikan karakter dilaksanakan melalui membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang positif pada siswa, seperti menjadwalkan kerohanian, upacara kebangsaan dan pramuka dan lain sebagainya. Strategi yang keduan ini sangat diperlukan mengingat aktivitas siswa tidak selalu berada di sekolah. Oleh sebab itu, perlunya pendidikan dengan kebiasaan-kebiasaan seperti di atas.

Dengan dibarengi upaya mencerdaskan peserta didik, bukan mustahil tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang akan tercapai. Dan menjadi solusi yang mujarab untuk mengatasi dinamika pendidikan nasional.

Membangun Konsensus

Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Eveline Wittmann dalam Align: Don’t Necesarely Follow (2008) dengan gamblang menegaskan perubahan kebijakan dalam dunia pendidikan merupakan kebutuhan intrinsik dunia pendidikan yang tidak bisa dihindarkan oleh negara manapun di dunia. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan isu global, seperti kualitas, profesionalisme dan persaingan, dunia pendidikan jelas harus mengubah cara pandang mereka, baik terhadap desain dan rangkaian kurikulum, instructional strategies, serta sistem pendidikan yang dikehendaki masyarakat.

Karena ketiadaan perubahan kebijakan yang signifikan, hasil riset 15 tahun terakhir di beberapa negara menunjukkan persoalan pendidikan lebih sering dikemas dalam balutan politik secara serampangan, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang tidak seimbang dan tidak konsisten antara sesama birokrat, politisi, dan masyarakat. Meskipun dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia menghasilkan banyak peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, dalam prakteknya terjadi banyak overlaping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan (Gary K. Clabaugh dan Edward G. Rozyki: 2006).

Inefektivitas akan terjadi lagi di Indonesia dalam duapuluh tahun ke depan, jika dari sekarang baik para politisi, birokrat dan masyarakat tidak memiliki konsensus tentang ke mana tujuan pendidikan akan diarahkan. Pembaharuan kebijakan pendidikan melalui konsensus antarbirokrat dengan masyarakat tampaknya harus dijadikan prioritas Mendiknas saat ini. Dan itu harus dijadikan bingkai dialog secara terbuka antarbirokrasi di tingkat pusat dan daerah dalam mencermati dan membuat rancangan program pembaharuan pendidikan ke depan. Melacak isu dan mengembangkan pendekatan adalah bagian penting dari sebuah konsensus.

Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan dimonitoring secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para politisi dan birokrat untuk menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).

Salah satu kebijakan yang sering dikritik adalah soal sertifikasi guru sebagai bagian dari capacity building. Kelemahan mendasar proses peningkatan kapasitas dan kemampuan kompetensi guru kita selama ini lebih karena tiadanya keseriusan kerja sama antara para peneliti di perguruan tinggi dan otoritas pendidikan. Guru selama ini hanya menjadi objek pelatihan dan program yang dikembangkan otoritas pendidkan tanpa riset dan assessment tentang kebutuhan akademis guru itu sendiri. Sebab itu, kebutuhan akan wadah yang secara tegas ingin memperjuangkan profesionalitas guru secara maksimal menjadi penting. Wadah baru ini haruslah didasari oleh adanya kesadaran tentang kebutuhan kita untuk memetakan kemampuan maksimal guru dalam hal pikir dan rasa.

Dapat dibayangkan, jika para peneliti masuk ke dalam ruang proses belajar-mengajar, dua keuntungan sekaligus akan dicapai; melakukan observasi kelas sekaligus mempetakan kebutuhan daya jelajah berpikir seorang guru. Efek dari proses ini pasti akan positif terhadap kompetensi guru, di mana dia diobservasi oleh seorang ahli yang dapat dijadikannya sebagai seorang teman dalam merekonstruksi pembelajaran yang baik. Selain itu, fungsi supervisor atau pengawas juga dapat terbantu dalam rangka meningkatkan keterampilan teksnis para pengawas kita yang rata-rata memiliki kemampuan yang sangat minim tentang proses belajar-mengajar dan psikologi kependidikan.

Eleanor Duckworth (1972) menggambarkan relasi guru-supervisor/pengawas yang setara dapat menyebabkan efek yang negatif terhadap performansi guru. Untuk kasus di Indonesia, dalam beberapa kasus, tidak jarang dijumpai seorang pengawas lebih lemah penguasaan aspek-aspek kependidikannya daripada seorang guru. Tetapi jika peran seorang pengawas diperkuat atau posisi dan peranan supervisor/pengawas dilakukan oleh seorang peneliti dari perguruan tinggi, pasti efeknya lebih positif, di mana guru merasa memiliki sparing partner yang mampu memberinya evaluasi di tempat (on the spot evaluation) yang bermanfaat bagi proses penumbuhan otoritas akademis dan kemampuan mengajar guru.

Harus disadari bersama bahwa kedudukan sekolah bagi masyarakat Indonesia sangat strategis, sebagai tempat penyemaian bakat siswa sekaligus kemampuan guru dalam mengajar. Fungsi dan kedudukan mereka seharusnya mendapat dukungan akademis secara maksimal dari kalangan perguruan tinggi secara konkret dan berkesinambungan. Alangkah idealnya jika posisi para pengawas yang ada saat ini diambil alih oleh para peneliti dari perguruan tinggi yang peduli terhadap mutu pendidikan. Adalah tugas perguruan tinggi untuk melakukan kerja sama secara langsung dengan sekolah, atau paling tidak membuat kluster-kluster binaan, sehingga proses penjaminan mutu pendidikan dapat dikawal secara baik dan berkesinambungan. Sebab itu, harus disadari, suka atau tidak suka, bahwa input mahasiswa di perguruan tinggi akan baik jika sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa dan guru untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dan perguruan tinggi adalah kata kunci yang signifikan untuk mendukung harapan peningkatan otoritas akademis guru.